SEMAR; Tokoh Misterius, Sumber Kearifan

Pernah jadi raja
Pernah jadi raja
Sampai makalah ini selesai disusun pembicaraan tentangSemar , tokoh wayang kulit purwa, belum usai. Arinya, setiap orang ingin mengetahui apa dan siapa Semar yang sebenarnya tidak dapat tuntas, apalagi memuaskan. Senar, tokoh fiktif, rekaan, atau sebenarnya nyata-nyata ada? Belum ada jawaban yang pasti; tergantung dari sudut pandang dan pemahaman setiap orang. Dengan demikian mungkin benar-benar ada atau pernah ada, tetapi juga barangkali memang tidak pernah ada.

Keunikan Semar, atas dasar narasi dan garapan cerita yang disajikan para dalang, adalah seperti di bawah ini.


Pernah jadi wanita
Pernah jadi wanita
1. Asli wayang Jawa, tidak terdapatkan dalam kitab wiracarita Mahabarata dan Ramayana. 
2. Semar lahir dari putih telor, hasil ciptaan Sang Hyang Tunggal, ayahnya. 
3. Jenis kelamin Semar tidak jelas, bukan laki-laki, bukan perempuan, juga bukan banci; tetapi beristri (Kanastrèn) dan juga memiliki keturunan yang semua dewa (di antaranya: Yamadipati, Bongkokan, Kuwera, Candra, Surya, Kamajaya, Wrahaspati, Patuk, dan Temboro).
4. Meskipun lebih banyak berperan sebagai abdi, tetapi bukan manusia biasa, déwa ngéjawantah, sebab sebenarnya Semar adalah penjelmaan Sang Hyang Ismaya.
5. Asal yakin atas kebenarannya, Semar tidak pernah takut kepada siapa saja, meskipun Guru, pembesar para dewa sekalipun.
6. Semar sangat murka apabila kebenaran, kearifan, dan keadilan mulai dilecehkan serta para ksatria dikalahkan para tirani atau pendzalim
7. Semar memiliki senjata yang berkekuatan sangat dahsyat, meskipun hanya berupa kentut.



Salah seorang paman saya, Sutomo, percaya benar bahwa Semar itu ada sampai sekarang, dan bertahta di sebuah goa di wilayah Gunung Srandil. Sejumlah penghayat kepercayaan yakin benar bahwa Semar itu ada, lazimnya mereka memiliki foto ‘figur tertentu’ yang dipercaya sebagai Semar. Beberapa teman saya mengatakan bahwa foto itu tidak sebanarnya, sebab obyeknya adalah lukisan, bukan makhluk hidup. Kesimpulan ini perlu dicermati melalui penelitian yang didukung peralatan dan/atau teknologi mutakhir yang tercanggih. Makalah ini tidak membahas tentang eksistensi Semar, sebenarnya pernah ada atau tidak; akan lebih memusatkan perhatian pada kenyataan dalam jagat pedalangan yang pernah saya amati.

Para dalang sekarang menangkap figur Semar tidak berbeda dengan tokoh lain, sebagai pemeran dalam alur repertoar cerita wayang tertentu; bahkan banyak yang memerankan sama dengan panakawan lain, Garènng, Pétruk, dan Bagong. Para dalang sekarang ini, Semar lebih sering ditampilkan sebagai seorang batur, gedibal sanga likur, badut, dagelan, atau humoris yang mbanyol sepanjang adegan. Pemeranan Semar, hanya sebagai pelawak, semacam ini langka terjadi pada 30 tahun yang lalu.

Pada tiga dasawarsa lalu, apalagi sebelumnya, oleh sebagian besar para dalang, Semar didudukkan sebagai tokoh sangat istimewa: ‘déwa ngéjawantah,’ pamomonging para satriya, penasehat, pamomong para satriya pinilih, seperti terungkap pada Sekar Pocung di bawah ini:
“Semar iku dadya darsaning rahayu,
yuwananing sedya,
supadya padha basuki,
yèn pinesu ambabar dadya warastra.”

‘Semar iku pamongé satriya tuhu,
Trahing Witaradya,
Tut wuri pan handayani,
Yèn ngandika dadiya tepa tuladha.”



Tembang di atas menunjukkan bahwa Semar bukan sekedar pelawak, dagelan, atau humoris saja. Sebenarnya, dalam cerita wayang di Jawa, Semar beserta anak-anaknya Garèng, Pétruk, dan Bagong bukan sekedar jongos yang mengikuti Pandawa dan keluarganya, tetapi seluruh tokoh ksatria yang suka memayu hayuning bangsa, memayu hayuning buwana, penegak kebenaran dan keadilan. Saya belum pernah menjumpai ada cerita wayang yang melukiskan tokoh Semar telah mengikuti pengembaraan Rahwana, Cakil, Sengkuni, Burisrawa, dan Suyudana; meskipun semua pihak ingin memboyongnya. 
Dalam cerita Semar Boyong, dan beberapa repertoar lakon wayang yang lain, dikisahkan sejumlah raja sangat mengharap agar Semar bersedia tinggal di negara mereka, meskipun hanya beberapa saat. Para raja itu percaya apabila negara mereka ketempatan Semar akan memperoleh kedamaian, keamanan, dan rakyatnya menjadi makmur sejahtera. 

Pada kondisi yang normal serta keseharian, Semar memang lebih bersikap pasif bahkan mengantuk seakan-akan pekerjaan utama sebab berkedudukan sebagai panakawan, abdi pendhèrèk, pamomong, atau kawan bercengkerama para ksatria. Pada kondisi yang demikian wajah Semar tergolong jelek, tua, berkeriput, mata sipit dan rembes; postur badan tambun dan pendek. 


Dalam keseharian seperti ini, Semar, dalam pertunjukan wayang, memang sering dijadikan bahan ejekan untuk mencari efek ketawa, tetapi senantiasa tenang, tetap sabar, justru larut dalam suasana humor.

Judul-judul lakon yang menggunakan nama Semar adalah seperti yang tertulis pada tabel di bawah ini.


1. Semar mBarang Jantur
2. Semar Boyong
3. Semar Tambal
4. Semar Kuning
5. Semar Tumbal
6. Semar Mantu
7. Semar mBangun Gedhong Kencana
8. Semar mBangun Kayangan 
9. Semar mBangun Klampis Ireng
10. Semar mBabar Jatidhiri 
11. Semar Raga atau Semar Kembar Papat
12. Semar Gugat
13. Semar Tambak
14. Gègèr Semar

Di luar 14 judul cerita itu, masih ada sejumlah ceritera yang peran Semar cukup penting, misalnya: Wisnu Krama, Manumayasa Rabi, Pandhu Lahir, Pandhu Krama, Mintaraga, Makutharama, Kilatbuwana, dan Gathutkaca Sungging. Hampir seluruh alur cerita di atas menunjukkan ekspresi protes, kemarahan dan/atau kekuatan Semar yang sebenarnya dalam menghadapi krisis dunia yang sangat memuncak, kecuali cerita “Semar Boyong”dan “Semar mBarang Jantur” yang kadar protesnya kecil.

Apabila Semar sudah menunjukkan kekuatan yang sebenarnya, tidak ada satu pun tokoh wayang yang berani melawannya, meskipun para dewa di kayangan. Khususnya, para ksatria yang dibelanya akan sangat menghormat dan santun (dengan menggunakan bahasa Jawa krama) kepada Semar saat-saat sedang menunjukkan kemarahannya. Sebab, dalam kondisi yang demikian itu Semar bukan lagi panakawan, bukan batur, bukan wong cilik, bukan abdi, tetapi tokoh berkekuatan supranatural yang ngédab-edabi, nggegirisi, ditakuti dan tak terkalahkan oleh siapa saja. Ekspresi kemarahan bergantung tingkat permasalahan yang dihadapinya; dapat tetap berwujud Semar, juga dapat berubah total, lazimnya menjadi ksatria yang sangat tampan.

Apabila Pandawa menghadapi masalah berat, para dalang masa lalu, Semar selalu tampil sebagai pemegang kunci pemecahan masalah, selain Kresna dan Abiyasa. Pada saat perang Baratayuda dimulai, Semar menduduki tempat istimewa setara dengan Kresna, penasehat utama; sudah tidak lagi berkelana dengan ksatria ke hutan-hutan. 

Dari uraian serba singkat tentang Semar dalam jagat pewayangan di atas, dapat dikatakan bahwa Semar merupakan tokoh khusus, penting, dan sentral. Apabila dibenarkan bahwa wayang merupakan salah satu ekspresi budaya yang terdiri atas pandangan, cita-cita, kehendak, simbo-simbol, keyakinan, dan harapan-harapan maka Semar adalah simbol dari budaya Jawa secara lebih luas. Semar didudukkan sebagai simbol: kawula (rakyat atau wong cilik) yang sabar, narima, tawakal, dan penuh pengabdian. Sepanjang kebenaran dan keadilan tetap tegak Semar berperan sebagai rakyat. Apabila terjadi sebaliknya,keadilan dan kebenaran tidak tegak, tirani (kezaliman) merajalela serta pemimpin bertindak semena-mena, maka Semar akan melakukan protes keras dengan caranya. 

Pertanyaannya adalah, apakah keyakinan orang Jawa tentang Semar sudah ada sebelum wayang Ramayana dan Mahabarata berkembang di Jawa? Kalau Semar sudah ada sebelumnya, wujud ekspresinya seperti apa? Kalau adanya Semar setelah orang Jawa mengenal kebudayaan Hindu, kenapa? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dikembang-kan dalam berbagai wacana sarasehan, seminar, atau penelitian khusus tentang Semar.. 

Terlepas kapan Semar muncul, yang terpenting adalah melalui tokoh Semar kita dapat melacak serta mengacu sumber kearifan dan/atau kebijakan Jawa secara lengkap, berupa:kesahajaan, toleransi, kearifan, kesabaran, kesetiakawanan atau kerukunan, dan sejenisnya selaras dengan sifat moral yang terpuji. Kearifan bersama sekarang ini sangat penting, agar eksistensi bangsa tetap tegak. Apabila kearifan bersama sudah dilupakan semua pihak, jangan harap krisis bangsa ini dapat teratasi. Semoga setiap diskusi tentang wayang mampu membuahkan hasil yang berfaedah bagi orang Jawa, Indonesia yang tercinta, bahkan seluruh umat dunia.. 


Oleh H. Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum. (STSI Surakarta)
* makalah disajikan pada Sarasehan Budaya Jawa dalam rangka menyongsong tahun baru 1 Muharram 1424 H di Desa Tlogo, Prambanan, Klaten.

Sumber: http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=219804731109

Related

Pengetahuan 7569871808099424757

Posting Komentar

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

emo-but-icon

Follow Us

.

Hot in week

Recent

Comments

item